"Selamat Datang Di Bumi Reyog Ponorogo"

Sugeng rawuh

Rabu, 30 April 2008

Kekerasan dan Rumor


Oleh : alim_faizin, S.IP, M.Si


Kekerasan merupakan tindakan pemaksaan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak yang lain. Pemaksaan ini bisa berupa tindakan fisik maupun sikap mental yang dalam beberapa kasus terlembagakan dalam sebuah sistem yang inheren dengan struktur yang sudah mapan. Tindak pemaksaan inilah yang kemudian memunculkan sikap kekerasan yang berujung pada terjadinya konflik yang ada di masyarakat. Teori kekerasan yang dicetuskan oleh Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konflik sebagai kegalauan yang bersumber dari ketidakserasian esensi bermacam komponen kehidupan. Kebalikannya dari teori kekerasan Ralf Dahrendorf adalah teori Kohesi dari Malinowski: “Keutuhan akan terjadi bila satu wilayah kehidupan dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik ‘reciprocity’ dibawah prinsip-rinsip legal formal”.

Dalam beberapa kasus, tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat didahului oleh adanya rumor maupun desas desus. Rumor merupakan sebuah wacana atau berita yang berkembang di masyarakat dan biasanya tidak didukung dengan fakta yang akurat serta seringkali tidak diketahui darimana sumbernya. Dengan adanya rumor yang tidak didukung oleh data-data yang akurat dan tidak diketahui sumbernya tersebut, wacana itu kemudian sering kali terjadi distorsi informasi yang pada akhirnya dengan mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Robert Knapp, terdapat 3 (tiga) jenis rumor yang mendasari kekerasan dalam masyarakat, Pertama, Rumor harapan (The Pipe Dream / Wish Rumor). Rumor ini bersifat membangun harapan-harapan baru (Wishful Thinking), digunakan untuk membangkitkan semangat untuk mengalahkan pihak lawan. Rumor jenis ini biasanya dibentuk dengan cara memberikan posisi tawar yang tinggi kepada kelompok sendiri dan merendahkan (baca : mengabaikan) kelompok lain, kelompok lawan dianggap akan kalah melawan kelompok mereka, sehingga memberikan harapan kemenangan kepada in group untuk lebih semangat dalam membela korps (Esprit de Corps), bahwa kelompok mereka adalah yang terbaik.

Kedua, Rumor ketakutan (The Bogie Rumor). Jenis rumor ini dibangun dengan cara memberikan sikap takut kepada kelompok sendiri, bahwa apabila mereka kalah maka kelompok lawan akan menghabisi kelompok mereka, sehingga yang harus dilakukan adalah membangun solidaritas internal untuk melawan. Rumor ini biasanya memberikan rasa panik kepada in group, bahwa kondisi mereka sedang terancam oleh kekuatan lawan. Kondisi inilah yang kemudian diharapkan memunculkan sentimen internal kelompok untuk mengantisipasi agar lawan tidak menjadi pemenang, karena kalau pihak lawan yang menjadi pemenang, maka akan mengancam eksistensi mereka.

Ketiga, Rumor agresi (The Wedge Driving). Rumor jenis ini dibangun untuk menanamkan kebencian kepada pihak lawan, pada proses awal rumor ini dilakukan dengan menanamkan solidaritas internal, kemudian ditanamkan rasa kebencian kepada pihak lain sehingga pada akhirnya melakukan tindakan kekerasan (agresi) kepada pihak lawan. Pada tahapan inilah biasanya akan muncul provokator (bukan sekedar menghembuskan isu saja) yang akan memanaskan situasi untuk melakukan kekerasan.

Dalam kaitannya antara isu maupun rumor dengan terjadinya kekerasan di masyarakat, seringkali juga melibatkan struktur politik yang sudah mapan, struktur politik inilah yag kadangkalajustru memainkan peran yang signifikan. Dalam perspektif demokrasi munculnya sikap kekerasan kaitannya dengan beredarnya isu-isu dan sentimen negatif dalam masyarakat, menurut Neil J Smelser (1983), ada enam hal yang memengaruhinya. Pertama, Structural Strain, yakni kejengkelan atas tekanan sosial berlarut yang tidak terimbangi oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Pada posisi inilah apa yang dipandang tertinggi dalam politik harus yang terbaik bagi masyarakatnya (The best regine is good society).

Kedua, Social Condusiveness, yaitu dalam kondisi sosial tertentu yang dapat memungkinkan munculnya aksi di luar batas norma yang ada. Secara psikologis, menurut Gustave Le Bon (1975) dalam teori "Group Coheivenes"-nya, massa yang bergerombol sangat mudah tersulut untuk melakukan anarki, vandalisme, bahkan konflik sosial yang sangat besar. Sebab semakin besar jumlah massa, semakin lupa diri dan tak terkendali kelakuan mereka, identitas pribadi seakan hilang digantikan oleh identitas massa. Mereka berani melawan petugas, membakar kendaraan, dan merusak fasilitas umum, bahkan lebih jauh lagi sampai bersifat crime and criminal.

Ketiga, Generalized Hostile Belief, yaitu berkembangnya prasangka kebencian terhadap sesuatu, misalnya pemerintah, kelompok ras, agama, atau lawan politik. Massa sudah sangat sulit diajak berpikir secara objektif untuk menyelesaikan masalah dengan baik-baik, sebab sudah tertanam suatu stigma kalau suatu objek tertentu adalah musuh yang harus disingkirkan. Apalagi jalur hukum, sering kali tidak sesuai lagi dengan yang mereka harapkan. Keempat, Mobilization For Action (mobilisasi massa untuk beraksi), yaitu adanya tindakan nyata dari massa dalam mengorganisasikan diri untuk bertindak. Biasanya aksi anarki hampir selalu didahului oleh demonstrasi massa dalam jumlah yang relatif banyak. Tahap ini merupakan determinan terakhir dari kumulasi determinan yang memungkinkan pecahnya kekerasan.

Kelima, Lack Of Social Control (melemahnya fungsi kontrol sosial), dalam hal ini aparat keamanan berwenang seperti tentara dan polisi yang menangani situasi untuk menghambat terjadinya anarki. Semakin kuat determinan kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan meletusnya anarkisme, dan sebaliknya bila kewibawaan aparat penegak hukum dilapangan merosot sangat mungkin akan terjadi aksi anarki. Keenam, Precipitating Factor, yaitu peristiwa dalam kondisi tertentu yang bisa mengawali atau memicu terjadinya aksi anarki. Indikator tersebut, merupakan amunisi yang siap meledak kapan saja. Sementara detonatornya bisa jadi dibentuk oleh statemen seseorang, keputusan politik atau hukum, atau yang bisa memicu konflik sosial lainnya.

hubungan kekerasan dengan rumor :

Pada tahun pertengahan tahun 1960-an, terdapat isu yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa akan ada program land reform, dimana akan ada pembagian tanah gratis kepada masyarakat msikin yang tidak mempunyai lahan garapan untuk kepentingan bersama, yang dalam hal ini akan dimotori oleh PKI. Disisi lain, para tuan tanah (yang menurut kelompok PKI disebut dengan ``setan desa``), nota bene adalah para priyayi tokoh masyarakat desa dan tokoh agama.

Rumor mengenai program land reform ini disatu sisi memberikan harapan-harapan baru (Wishful Thinking) kepada kawulo alit yang tidak mempunyai tanah garapan untuk dapat memiliki tanah garapan, akan tetapi disisi lain rumor ini juga menyebabkan ketakutan akan adanya aksi massa yang akan menyerobot tanah garapan mereka dan mengganggu eksistensi mereka sebagai tuan tanah (The Bogie Rumor), sehingga pada akhirnya memunculkan kecenderungan untuk melawan dari para priyayi tokoh masyarakat dan tokoh desa untuk mempertahankan hak-hak atas tanah mereka. Dengan adanya dua kepentingan yang berbeda inilah kemudian timbul isu lanjutan yang menyebutkan akan ada penyerobotan secara sepihak dari para kawulo alit atas tanah garapan milik para tuan tanah dengan dimotori oleh PKI.

Isu tentang akan adanya penyerobotan tanah secara sepihak yang akan dilakukan oleh PKI beserta onderbouw-nya inilah yang kemudian membuat para tuan tanah, yang kebanyakan kiai-kiai desa, dan para pengikutnya untuk merapatkan barisan dengan membuat isu tandingan dengan merujuk pada dalil-dalil dari agama, apalagi motor penggerak land reform adalah PKI yang secara ideologi dianggap bertentangan dengan agama, bahwa tindakan penyerobotan hak atas orang lain yang dilakukan oleh PKI dan onderbouw-nya adalah haram dan bertentangan dengan agama, dan barang siapa yang tidak mengindahkan perintah agama maka dia dianggap tidak mengakui adanya Tuhan.

Disisi lain ajaran PKI yang mengambil inti pemikiran dari Karl Marx dan Friedrick Ilyich Lenin yang dalam doktrin Partai Komunis menyatakan bahwa ``agama adalah candu bagi masyarakat``, dianggap sebagai faham atheisme yang harus diperangi karena tidak sesuai dengan ajaran agama, telah memberikan semangat baru dan menjadi faktor pembenar kepada para tuan tanah dan pengikutnya yang kebanyakan dari kaum agamawan untuk berjihad melawa kebathilan yang ada (Wishful Thinking), dengan cara menumpas pengikut land reform yang berafiliasi dengan PKI.

Isu dan rumor yang berkembang tersebut kemudian memunculkan sentimen tersendiri diantara kedua kelompok kepentingan yang berbeda tersebut (The Wedga Diving), sehingga kemudian sering kali terjadi kontak fisik diantara kedua kelompok. Akibat lanjutan dari sentimen fisik ini, ditambah dengan adanya rumor baru yang menyatakan bahwa untuk bisa memenangkan pertentangan tersebut, harus bisa ``mendahului``, daripada didahului. Sehingga kemudian kedua kelompok mencoba untuk menyiapkan strategi untuk menjadi pemenang dengan cara melakukan tindakan lebih awal daripada harus didahului pihak lawan, akibatnya adalah timbulnya kekerasan baru diantara mereka karena salah satu kelompok merasa terancam, hingga puncaknya terjadi pada kudeta G30S/PKI, dan pemberontakan PKI Blitar hingga penumpasan PKI di berbagai daerah yang menyebabkan jatuhnya banyak korban diantara kedua kelompok.