Oleh : alim n faizin, S.IP
Pra Wacana
Dalam kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat, kalau mau dicermati komponen utama yang membentuknya adalah adanya interaksi diantara anggota masyarakat tersebut. Dengan adanya interaksi yang terjadi antar anggota masyarakat ini, maka kemudian muncullah beberapa tipe hubungan sosial yang bakal terjadi, tipe hubungan sosial ini meliputi : cooperative (kerjasama), competition (persaingan), serta conflict (pertikaian). Demikian pula ketika kita membincang masyarakat dalam konteks politik, tentu tidak terlepas dengan adanya perbedaan kepentingan dan konflik.
Istilah konflik ini secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama, dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti terjadinya benturan kepentingan, pendapat, harapan yang harus diwujudkan dan sebagainya yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih, dimana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, maupun satu organisasi sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, suku bangsa maupun satu pemeluk agama tertentu.
Dalam kelanjutannya, William Chang pernah mempertanyakan tentang dimensi konflik ini, apakah konflik yang terjadi di masyarakat hanya dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan batin, kecemburuan, kebencian, masalah tanah, modal kapital maupun kekuasaan?. Pertanyaan ini kemudian dijawab sendiri oleh Chang, bahwa konflik yang terjadi di masyarakat juga bisa disebabkan oleh emosi sesaatpun ternyata bisa menimbulkan konflik sosial.[1] Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, maupun satu pemeluk agama tertentu.[2]
Dimensi konflik ini pada hakekatnya adalah adanya perbedaan prinsip maupun kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena ini kadangkala juga ditunggangi oleh agenda setting yang lebih besar dari struktur yang dominan yang berkuasa, dibandingkan dengan “hanya” sekedar perbedaan persepsi yang ada di masyarakat. Agenda setting dari struktur yang dominan inilah yang sebenarnya memainkan peranan penting dalam terjadinya konflik kepentingan di masyarakat. Oleh karena itulah dalam Paper singkat ini akan dicoba diuraikan mengenai hubungan antara konflik yang terjadi dengan struktur sosial kaitannya dengan pembacaan peta kepentingan politik dan potensi kekerasan di Jawa Timur menjelang Pemilihan Gubernur tahun 2008.
Konflik sosial ini tentu tidak sesederhana dengan cara pendefinisiannya, karena setiap konflik sosial dalam masyarakat itu tidak selalu bentuk dan sifatnya sama, dengan demikian terdapat variasi dalam konflik, baik atas dasar bentuk, sifat, penyebab terjadinya, maupun langkah penyelesaiannya, selain juga konteks struktur dan fungsi dalam kehidupan sosial yang bersangkutan।
Struktur Sosial
Dalam kehidupan sosial, terdapat sebuah struktur yang erat hubungannya dengan sistem sosial yang ada, yaitu struktur sosial. Berbeda dengan sistem sosial yang menekankan pada sejumlah orang atau sekelompok orang dengan aktifitasnya yang mempunyai hubungan relatif tetap dan konstan, struktur sosial menurut Jabal Tarik Ibrahim, dosen Sosiologi Unmuh Malang, membahas pola hak dan kewajiban para pelaku dalam interaksi sosialnya yang terwujud dalam hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu.[3] Hak dan status para pelaku dihubungkan dengan status dan peranan pelaku masing-masing. Status dan peranan ini berdasar pada sistem penggolongan yang ada dalam masyarakat yang bersangutan, baik berupa ascribed status maupun achieved status. Status dan peranan ini pada umumnya hanya berlaku menurut masing-masing kesatuan sosial dalam masyarakat tertentu dan situasi interaksi sosial pada saat tertentu saja.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh Peter M. Blau yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas didalam berbagai posisi yang berbeda yang pada akhirnya mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk juga didalamnya hubungan konflik). Karateristik pokok dari struktur adalah adanya ketidaksamaan atau keberagaman antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan dan kerjasama.
Selanjutnya Blau mengelompokkan basis parameter pembedaan struktur menjadi dua bagian, yaitu parameter nominal dan gradual.[4] Parameter nominal ini membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas, seperti, ras, agama, jenis kelamin, pekerjaan, afiliasi politik, tempat tinggal, bahasa, nasionalitas dan sebagainya. Kalau dicermati, pengelompokkan ini bersifat horizontal dan akan melahirkan berbagai “golongan”. Adapun parameter gradual membagi komunitas dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status sosial yang nantinya akan menciptakan perbedaan kelas sosial seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewibawaan, intelegensia dan sebagainya. Dengan kata lain, pengelompokkan ini bersifat vertikal dan akan menghasilkan “lapisan” dalam masyarakat.
Atas dasar struktur sosial yang dikatakan oleh Peter M. Blau diatas, dapat disebutkan bahwa interaksi antar bagian dalam kehidupan bersama dapat juga terjadi antar kelompok, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual; bahkan tidak hanya internal, tetapi juga secara eksternal. Interaksi antar bagian dalam kehidupan sosial tersebut, baik atas dasar parameter nominal maupun gradual dapat menimbulkan konflik antar individu anggota dari berbagai “golongan” dan “lapisan” tadi.
Sementara itu menurut Ralf Dahrendorf, konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial.[5] Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari struktur sosial setempat.[6] Teori Dahrendorf ini menyatakan bahwa konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya kegalauan masyarakat yang bersumber dari ketidakserasian esensi bermacam komponen kehidupan. Kebalikannya adalah teori kohesi dari Bronislaw Malinowski yang mengatakan bahwa : “Keutuhan akan terjadi bila satu wilayah kehidupan dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik ‘reciprocity’ dibawah prinsip-rinsip legal”.
Fungsi Sosial
Menurut Talcott Parson (1951), dalam setiap sistem sosial diperlukan persyaratan fungsional. Diantara persyaratan itu dijelaskan bahwa sistem sosial harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dengan tuntutan transfrmasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation). Berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk tujuan bersama (goal attainment). Kemudian persyaratan lainnya adalah bahwa dalam interaksi antar warga setidaknya harus ada suatu tingkatan solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration). Teori fungsionalisme dari Talcott Parson ini mengatakan bahwa, “Tertib sosial ditentukan oleh adanya hubungan timbal balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan kepribadian dalam masyarakat”.
Membincang masalah fungsi sosial, tentunya tidak hanya berbicara mengenai peran, karena relasi fungsi tidak selalu saja terpadu, akan tetapi dalam relasi sosial tersebut bisa saja terdapat konflik didalamnya, apalagi jika didalamnya banyak terdapat cukup banyak faksi. Dalam fungsi terdapat struktur, dan dalam fakta juga terdapat struktur dan fungsi yang saling berkait erat.
Teori fungsi tidak dirancang dalam kaitannya dengan perubahan, sehingga keduanya agak sulit dihubungkan. Teori fungsi ini hanya terbatas menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat serasi (equilibrium) saja, dan kurang memperhatikan hubungan-hubungan yang bersifat konflik. Pencampuran antara teori fungsi dan teori-teori perubahan ini baru muncul akhir-akhir ini. Berbicara mengenai perubahan, umunya menyangkut perilaku, meskipun memerlukan waktu yang pajang. Hanya perubahan yang radikal saja yang bisa merubah struktur dan fungsi.
Institusi Sosial dan Kaitannya dengan Struktur dan Fungsi
Bronislaw Malinowski dalam membuat deskripsi etnografi, sedapat mungkin menerapkan teori fungsional, meski tidak semuanya berhasil. Menurut Malinowski, manusia dalam memenuhi kebutuhannya secara individual, tetapi melalui kehidupan bersama (sosial) secara erorganisasi dan tertata dalam hukum serta nilai-nilai tertentu dalam mencapai kesepakatan bersama. Semua ini oleh Malinowski disebut dengan “charter”, yang diartikan sebagai sebuah sistem yang terorganisasi tentang aktivitas-aktivitas sosial yang penuh tujuan, dengan didasarkan pada nilai-nilai umum dan kepentingan bersama, yang lebih jauh disebut dengan norma sosial.[7]
Prinsip-prinsip integrasi ini nantinya akan tercermin dalam institusi sosial, dan inilah basic need manusia, bahwa manusia dalam kehidupan sosialnya membutuhkan adanya pengorganisasian sosial untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Sebagai kelanjutannya, respon dari ini adalah terwujudnya kebudayaan yang termaktub dalam pembentukan institusi-institusi sosial. Dengan kata lain, kebudayaan sebagai respon basic need dapat diindikasikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan bersama masyarakat।
Integrasi Keseimbangan dan Konflik Sosial
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Malinowski dalam mengajukan teorinya tentang integrasi keseimbangan dan keharmonisan sosial menyimpulkan bahwa dalam masyarakat selain terdapat integrasi sosial yang menuju keseimbangan, juga terdapat konflik yang mengarah pada perpecahan. Pertanyaan selanjutnya adalah, kalau dalam masyarakat terdapat integrasi dan konflik (dua hal yang saling bertolak belakang), lalu bagaimana keterkaitan antara keduanya, paling tidak apa fungsi konflik bagi kehidupan sosial bagi yang bersangkutan?.
Menurut Van Bal (1988), konflik merupakan hasil dari kebudayaan, dan oleh karenanya juga maka konflik juga berarti produk dari struktur sosial. Logika hubunganya adalah menempatkan konflik sebagai bagian dari produk struktur sosial. Fakta sosial menurut Emile Durkheim bukan sekedar apa yang dilihat, akan tetapi juga apa yang ada didalamnya yang tidak bisa dilihat. Semua gejala sosial seharusnya difahami sebagai hasil dari sikap dan perilaku manusia secara individual. Fakta sosial ini juga yang kemudian mengendalikan individu, dan bukan individu yang megatur kehidupan sosial. Dalam hal ini fakta sosial terbentuk secara alami dan posisinya eksternal, yaitu sebagai pengendali pada diri individu dalam kehidupan bersama.
Pandangan lain dikemukakan oleh E.R Leach, sebagai pewaris strukturlalisme Malinowski, dia mengatakan bahwa, persoalan konflik muncul akibat dari individu angota masyarakat sering membuat siasat-siasat atau manipulasi-manipulasi terhadap norma-norma sosial.[8] Dengan kata lain, individu-individu tersebut dalam kehidupan sosialnya banyak melakukan manipulasi terhadap norma-norma yang berlaku demi keuntungannya sendiri baik dala bidang politik, maupun ekonomi, untuk mengakumulasi kekuasaan.
Pandangan E.R Leach ini sekaligus sebagai kritiknya atas equilibrium yang dinyatakan leh parson, menurutnya keseimbangan sosial itu pada umumnya tidak bisa dipertahankan secara kekal, artinya keterpaduan sosial tidak berlangsung lama dan bersifat tidak konstan. Dengan demikian menurutnya, kehidupan sosial dalam masyarakat itu selalu dalam posisi inconsistency. Oleh karena itu gesekan-gesekan yang terjadi antar anggota masyarakat pasti akan terjadi sebagai akibat adanya perbedaan diantara mereka. Menurutnya hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat selalu mengalami oskilasi yang berakibat terjadinya perubahan sikap, dan akhirnya akan muncul kompetisi yang berlangsung terus-menerus diantara warga masyarakat sebagai aktor. Sehingga sebagai kelanjutanya, anggota masyarakat berusaha untuk mensiasati norma yang ada, sebagai piliha yang realistis dan efektif, yang kemudian memunculkan perilaku-perilaku yang potensial menimbulkan konflik sosial.
Membaca Peta Politik dan Sosio Kultural Masyarakat Jawa Timur
Mengutip pendapat dari Daniel Sparringa, dosen Sosiologi Unair Surabaya, yang membagi peta sosiokultural masyarakat Jawa Timur berdasarkan etnis dan kultural, bahwa masyarakat Jawa Timur merupakan masyarakat yang majemuk. Dalam hal ini Daniel Sparringa mencoba mengelompokkan masyarakat Jawa Timur berdasarkan tiga arus utama, meliputi pengelompokkan etnokultural utama, divisi kultural penting lainnya, dan polarisasi berdasarkan ideologi.[9]
Pengelompokan masyarakat yang dibuat oleh Daniel ini mengasumsikan bahwa masyarakat Jawa Timur terdiri dari berbagai macam karakteristik berdasarkan sub sistem maupun sruktur sosial yang berbeda yang membentuk satu komunitas sebagai entitas masyarakat Jawa Timur. Pengelompokan masyarakat Jawa Timur berdasarkan tiga karakteristik arus utama diatas, didasarkan atas (meminjam istilah Peter M Blau) karakteristik baik nominal maupun gradual yang secara lebih rinci dapat diraikan sebagai berikut,
Pertama, pengelompokan etnokultural utama. Pengelompokan ini didasarkan pada sub kultur masyarakat Jawa Timur menurut arus utama yang meliputi; kelompok masyarakat “Maduran”, yang mendiami pulau madura dan di seputaran Surabaya, Gresik, Lamongan, daerah Tapal Kuda dan daerah lain yang biasanya juga membentuk kelompok masyarakat Madura, selanjutnya kelompok masyarakat “arek” yang merupakan masyarakat yang mengunakan dialek “Suroboyoan” dan mendiami daerah seputaran Surabaya, Malang dan sekitarnya, masyarakat “Mataraman”, merupakan kelompok masyarakat yang mendiami sebelah barat Jawa Timur meliputi Ponorogo, Madiun, Ngawi, Magetan, Pacitan, Tulungagung dan lainnya serta memiliki budaya yang “lebih dekat” dengan budaya Mataram (baca : Yogyakarta/ Jawa Tenga
h), kemudian kelompok masyarakat “Samin”, merupakan kelompok masyarakat yang dekat dengan kebudayaan “saminisme” yang mendiami kawasan Jawa Timur sebelah barat, meliputi Bojonegoro, sedikit wilayah Ngawi dan sebagainya, kelompok masyarakat “Osing” juga merupakan sub kultur masyarakat yang mempunyai karakteristik dan budaya sendiri yang mendiami daerah Tapal Kuda, meliputi Banyuwangi dan sekitarnya, selanjutnya kelompok Tionghwa/ China yang tersebar di seluruh pelosok Jawa timur, akan tetapi secara akses politik termarjinalkan dan biasanya menguasai akses ekonomi, kelompok terakhir adalah kelompok masyarakat arab, merupaka kelompok warga masyarakat keturunan arab yang membentuk ikatan emosional sangat kuat akan tetapi persebaranya tidak merata dan kebanyakan terkonsentrasi di wilayah Surabaya.
Polarisasi ini merupakan karakteristik etnokultural utama masyarakat JawaTimur, meskipun masih banyak lagi varian sub kultur masyarakat yang lain, semisal sub kultur masyarakat “Panaragan”, yang merupakan sub kultur masyarakat hasil percampuran antara budaya dan keturunan masyarakat Ponorogo dan Madura yang banyak mendiami Kabupaten Jember dan sekitarnya. Selain itu juga masyarakat “Tengger” yang membangun karakteristik dan budayanya sendiri, yang mendiami sekitar daerah Probolinggo dan sekitarnya.
Akan tetapi pengelompokan yang dibuat oleh Daniel Sparringa berdasarkan etnokultural utama masyarakat Jawa Timur sudah cukup mewakili karakteristik masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Pengelompokan etnokultural utama ini penting dikaji, mengingat perbedaan budaya dan karakteristik masyarakat selain sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa, juga merupakan faktor pemicu dan pemantik terjadinya konflik dalam masyarakat, seperti yang telah diuraikan dimuka. Selanjutnya, pengelompokan masyarakat berdasarkan pada etnokultural utama ini penting dilakukan untuk mengkaji persoalan “kecenderungan” terjadinya polarisasi konflik dalam kaitannya dengan potensi terjadinya kekerasan dalam Pemilihan Gubernur tahun 2008.
Kedua, divisi kultural penting lainnya. Merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan pada karakteristik hubungan sosial dalam masyarakat yang bersifat diametral (saling berhadap-hadapan). Pengelompokan masyarakat berdasarkan karakteristik ini meliputi hubungan, urban – rural, pesisir – pedalaman, agraris – industrial, santri – abangan. Pola hubungan masyarakat yang bersifat diametral ini lebih jauh merupakan potensi konflik yang sangat rawan, karena secara langsung sudah menempatkan masyarakat dalam posisi yang berhadap-hadapan, yang meminjam istilah Peter M. Blau, masyarakat dalam posisi “struktur sosial gradual” langsung berhadap-hadapan.
Ketiga, Polarisasi berdasarkan ideologi “Politik”. Polarisasi masyarakat berdasarkan ideologis “politik” ini merupakan wujud “insting” manusia dalam mengapresiasikan kepentingan dan keberpihakannya dalam kehidupan sosial dan politik. Polarisasi ini merupakan manifestasi atas segala kebutuhan, maupun keberpihakan sebagai dampak terbentuknya struktur sosial, baik yang berdasarkan nominal maupun gradual. Dalam pandangannya, Daniel Sparringa mengelompokkan masyarakat Jawa Timur berdasarkan polarisasi ideologis ini dalam Islam Tradisionalis, Islam modernis, Islam “Khalifah”, “Kejawen” dan “Sekuler”.
Arus utama Islam Tradisionalis dalam hal ini diwakili oleh Nahdlatul Utama yang mempunyai basis massa terbesar di Jawa Timur. Arus utama Islam Tradisionalis ini mempunyai tiga karakteristik utama, sebagai aliran/ spirit/ etika/ budaya masyarakat yang secara kultural – politis berfungsi sebagai identitas yang megikat para pengikutnya sebagai warga “nahdliyin”. Kemudian sebagai organisasi modern yang secara sosial – politk berfungsi sebagai kelompok kepentingan, dalam hal ini sebgai legitimasi bagi aktor politik dari organisasi ini untuk mengklaim partai politik tertentu (baca : PKB, PPP, PKNU) sebagai partai yang dilahirkan dari rahim NU. Yang terakhir wajah NU sebagai konfederansi pesantren/ kyai yang secara sosial merupakan komunitas otonom, maksudnya adalah pesantren/ kyai mempunyai garis batas kewenangan sendiri dalam wilayah pesantren yang dipatuhi oleh para santrinya.
Arus utama selanjutnya adalah islam modernis yang dalam hal ini diwakili oleh organisasi Muhammadiyah. Arus utama ini menempatkan pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat sebagai instrumen dalam membangun integritas kelompok sosialnya, selain dala bidang agama tentunya। Wajah Muhammadiyah dalam hal ini menempatkan masyarakat sebagai subjek sosial yang berfungsi sebagai stabilitator dalam kehidupan duia dan akhirat, selain juga sebagai instrumen politik melalui wadah Partai Amanat Nasional (PAN), meskipun yang terakhir ini sering tidak diakui oleh petinggi Muhammadiyah.
Arus utama berikutnya adalah Islam “Khalifah”, merupakan kelompok masyarakat yang menginginkan berlakunya syari`at Islam di Indonesia. Meskipun bukan sebagai arus utama masyarakat Jawa Timur, akan tetapi keberadan kelompok ini cukup mewarnai dinamika politik dan sosial dalam masyarakat, dengan seringnya melakukan aksi unjuk rasa menyoroti kinerja नगर maupun ajakan untuk memberlakukan syari`at Islam. Rus utama kelompok ini diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Hizbut Tahrir (HT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan lain-lain. Khusus untuk organisasi massa yang terakhir ini sering kali dikaitkan dengan beberapa aksi terorisme di Indonesia dengan banyaknya alumni pondok pesantren “Ngruki” yang tertangkap setelah melakukan aksi terorisme.
Arus utama selanjutnya adalah kelompok “Kejawen”. Kelompok kejawen ini merupakan kelompok masyarakat yang masih mempertahankan budaya dan tradisi “Jawa Kuno”, sebagai basis postulat teoritiknya. Karakteristik kelompok kejawen ini adalah selalu mendasarkan pada ajaran dan tradisi jawa yang tetap hidup dan dipelihara, meskipun ada hal baru, akan tetapi “sesuatu yang baru” tersebut harus menyesuaikan dengan budaya jawa kuno. Meskipun tidak terlembagakan secara makro seperti keberadaan ormas-ormas Islam semisal NU, Muhammadiyah dan lain-lain, akan tetapi keberadaan aliran kejawen ini cukup banyak mendapatkan simpati dari masyarakat. Perkumpulan-perkumpulan aliran kejawen ini cukup mewarnai dinamika kehidupan sosial masyarakat Jawa Timur dengan menggandeng institusi-institusi lokal dengan asumsi untuk menghidupkan tradisi dan budaya lokal masyarakat yang akhir-akhir ini sering ditinggalkan masyarakat.
Yang terakhir adalah polarisasi ideologis “sekuler”. Polarisasi ini secara kasat mata memang tidak mempunyai ideologis ekstrim. Arus utama yang dibangun oleh kelompok sekuler ini mendasarkan pada kebutuhan sosial masyarakat secara praktis, dengan didukung dengan institusi-institusi modern kontemporer. Kelompok sekuler ini secara garis besar diwakili oleh Partai Golkar, PDI Perjuangan, maupun kelompok kepentingan yang lain.
Dengan pembacaan atas peta politik dan sosio kultural masyarakat Jawa Timur ini maka dapat kita peroleh gambaran tentang dinamika kehidupan sosial dan politik masyarakat Jawa Timur yang terintegrasi pada beberapa polarisasi diatas, dengan demikian dinamika masyarakat Jawa Timur yang begitu komplek dan dinamis tersebut berpeluang terjadi gesekan antar kelompok dalam masyarakat yang bisa saja berujung pada kerawanan सोसिअल।
Beberapa Isu Strategis
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa diferensiasi sosial masyarakat Jawa Timur begitu komplek dan dinamis sehingga memunculkan peluang untuk terjadinya gesekan yang berujung pada terjadinya konflik dan kerawanan sosial. Dari beberapa polarisasi dan pembacaan atas pengelompokan masyarakat Jawa Timur berdasarkan beberapa karakteristik diatas, maka dapat kita diperoleh gambaran eberapa isu strategis yang terjadi dalam masyarakat Jawa Timur pada akhir-akhir ini ;
Pertama, Perpecahan PKB poros Cak Anam dan Gus Dur. Meskipun sudah ada putusan pengadilan yang memenangkan PKB kubu Gus Dur, akan tetapi entry point dari kasus ini masih dapt dikataka masih mengambang, terbukti dengan masih bercokolnya anggota DPRD Jatim Fraksi PKB dari kubu Cak Anam dan bukan dari kubu Gus Dur. Selain itu, meskipun persoalan PKB merupakan persoalan internal PKB dan NU, akan tetapi harus diingat bahwa Nahdlotul Ulama (NU) merupakan mainstream ideologis yang banyak diikuti oleh masyarakat Jawa Timur, selain juga sebagai mainstream politik aliran yang cukup disegani di Jatim.
Kedua, Kontestasi Ideologis, Islam arus utama Vs “Islam Khalifah”. Meskipun sama-sama mengangkat ideologis Islam, akan tetapi wilayah ideologis yang diangkat justru saling berhadap-hadapan. Isu utama yang dibangun oleh kedua arus ini adalah sebagai “trah utama” Islam yang paling benar dalam menginterpretasi ajaran Islam dan mentransfernya dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pertentangan kedua mainstream pemikiran Islam ini tidak hanya berkutat pada tataran wilayah ideologis, akan tetapi juga tersegmentasi masuk dalam wilayah politis juga. Hal ini bisa terlihat ketika terjadi “goro-goro” pada tataran elit nasional dengan pelengseran Gus Dur dari tampuk kekuasaan Presiden, maka segeralah terjadi polarisasi politik yang saling berhadap-hadapan. Polarisasi ini segera saja menjadi konflik sosial dengan adanya penyerangan dari satu pihak pada pihak lainnya yang menjerumus pada tindakan fisik dan psikis. Konflik sosial ini tidak saja menyebabkan perbedaan pandangan dalam “wacana keagamaan” semakin meruncing, akan tetapi juga dalam hal fisik juga terjadi pengrusakan terhadap fasilitas fisik milik kelompok tertentu yang dilakukan oleh kelompok lawan.
Ketiga, Rivalitas politik Pilkada. Pilkada untuk memilih Bupati/ Walikota pada periode kemarin pada kenyataannya masih menyisakan persoalan yang sampai saat ini belum juga selesai. Beberapa diantaranya adalah pembakaran dan pengrusakan Pendopo Kabupaten Tuban oleh massa “yang disinyalir “ dari pendukung pasangan yang kalah dalam Pilkada Tuban. Selain itu juga pertentangan antara Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari dengan DPRD Banyuwangi, belum sepenuhnya dapat diselesikan. Persoalan ini dikhawatirkan akan kembali muncul seiring dengan penyelenggaraan pemilihan Gubernur tahun 2008 nanti.
Keempat, Kompetisi Global – Nasional - Lokal. Memasuki abad 21 ini, kompetisi global dengan semangat pasar bebas semakin menuntut adanya ketrampilan dan pendidikan yang berkualitas. Akan tetapi sayangnya hal ini tidak diikuti dengan semakin meningkatnya kualitas kompetensi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa Timur pada khususnya. Persoalan ini kemudian memanjang dengan semakin banyaknya modal kapital yang menanamkan modalnya negeri ini, diiringi dengan semakin menjamurnya tenaga ahli asing dari luar negeri dan diikuti dengan penggunaan mesin-mesin produksi modern yang menggantikan tenaga manusia, sebagai akibatnya adalah semakin meningkatnya angka pengangguran yang tidak diimbangi dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Persoalan ini sering kali memunculkan kecemburuan sosial dan rasisme sebagai buntut ketimpangan ekonomi yang sangat kentara.
Kelima, Politik Klas, Buruh Vs Kapital, Petani Vs Negara, Masyarakat Vs Kapital dll. Persoalan ini muncul sebagai adanya ketidak berpihakan negara maupun modal kapital terhadap kesejahteraan buruh/ masyarakat sekitar pabrik, maupun petani dengan negara. Berlarut-larutnya proses ganti untung masyarakat korban lumpur lapindo merupakan salah satu contoh bagaimana masyarakat tidak kuasa melawan hegemoni negara dan negara tidak mampu melawan dominasi dari sistem kapital. Persoalan ini secara langsung menempatkan masyarakat (baca : tidak saja buruh) berhadapan dengan dua sistem besar sekaligus, negara dan sistem kapitalisme. Ketika masyarakat sudah tidak mampu lagi melawan dominasi kekuatan besar, bukan tidak mungkin masyarakat melakukan perlawanan dengan memboikot sistem yang ada dan melawannya. Hal ini tercermin dari masyarakat penghuni Perumahan Tanggul Angin Sejahtera I (Perumtas I), yang beberapa waktu lalu melakuka aksi pemblokiran jalan utama yang menghubungkan jalur Surabaya – Malang. Hal yang sama juga dialami oleh para petani, disaat mereka membutuhkan pupuk untuk tanaman mereka, disaat itu pula harga pupuk segera saja melambung tinggi hingga tidak terjangkau lagi, sebaliknya jika panen tiba, segera saja harga-harga turun drastis. Sama halnya dengan warga korban lumpur Lapindo yang tidak kuasa melawan sisten negara dan kapitaisme, maka para petani juga tidak kuasa melawan kedua sistem itu, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah melawan dengan bahasa sendiri, hal ini dilakukan dengan membakar hasilm panen mereka sebagai wujud protes sosial atas ketidak berdayaan mereka menghadapi sisten yang ada. Ketidak berdayaan masyarakat dalam melawan sistem ini seringkali diwujudkan dengan “bahasa” mereka sendiri dan melawan “norma-norma” yang dibangun oleh negara, sehingga ketika negara membangun sistem yang baru (baca : Pilkada), maka dimungkinkan muncul kekhawatiran dari masyarakat bahwa mereka hanya akan dijadikan objek politik “lagi” oleh para elit politik.
Keenam, Masyarakat Vs Militer. Khusus yang terakhir ini menjadi isu hangat yang banyak dibicarakan. Kasus penembakan Alas Tlogo, Pasuruan, yang dilakukan oleh anggota Marinir terhadap warga masyarakat Alas Tlogo, Pasuruan, merupakan alur utama pertentangan masyarakat Vs Militer, yang seringkali persoalan ini tidak bisa dituntaskan secara memuaskan.
Sebenarnya masih banyak lagi isu strategis yang sebenarnya bisa dimunculkan disini, akan tetapi dari keenam isu strategis yang dipaparkan diatas, dapat dilihat bagaimana potensi kerawanan sosial setiap saat muncul sebagai imbas dari konflik sebelumnya yang belum tuntas, maupun gesekan kepentingan antar masyarakat yang setiap saat bisa saja muncul.
Politik Aliran, Potensi Konflik?
Sejauh ini politik aliran telah mengemuka dalam rentang sejarah bangsa Indonesia denga konotasi yang tidak mengenakkan, bahwa politik aliran merupakan prime cause munculnya konflik sosial. Ignas Kleden memilih sumber basis politik aliran pada tiga hal, yaitu; ideologi, kelas (secara ekonomi) dan kebudayaan.[10]
Polarisasi sumber basis politik aliran, sebagaimana telah diuraikan Ignas kleden diatas, secara langsung maupun tidak, menegasikan proposisi yang menyebut bahwa secara genuine politik aliran selalu datang dengan membawa benih-benih konflik sosial. Dengan demikian, konflik sosial tidak reasonable jika hanya disebabkan oelh politik aliran saja, meskipun politik aliran juga bisa menjadi sumber konflik, akan tetapi bukanlah satu-satunya varian penyebab konflik.
Konflik, besar kemungkinan terjadi pada faksi-faksi yang mengusung sumber basis yang sama, misalnya konflik antara partai politik kaum borjuasi dan partai politik kaum buruh, yang sama-sama bertolak dari paradigma kelas sosial sebagai basis aliran. Akan tetapi bukan berati pula bahwa, setiap kelompok hanya mendasarkan diri pada satu sumber basis. Bisa jadi satu kelompok merujukkan keberadaannya pada dua atau tiga sumber basis sekaligus.
Oleh karena itu, wajar jika kemudian pengentalan konflik tidak hanya terjadi di wilayah di wilayah internal saja, akan tetapi juga diwilayah eksternal. Konflik di wilayah eksternal ini dimungkinkan berlangsung diantara kelompok dengan sumber basis yang berbeda, dalam hal ini lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat yang paradigma performanya berbasis pada ideologi dan berbasis pada kelas (secara ekonomi).
Membangun Kesadaran Kolektif Masyarakat
Dengan membaca dan mengkaji beberapa isu strategis yang berkembang dalam masyarakat dan beberapa peta politik dan etnokultural masyarakat Jawa Timur seperti yang telah disinggung pada awal Paper ini, maka setidaknya dapat kita katakan, bahwa potensi dan ancaman kerawanan sosial masyarakat dalam menyongsong pemilihan gubernur tahun 2008 sangatlah besar potensi terjadinya, mengingat msyarakat jawa timur masih dihadapkan pada, tidak saja pada kondisi masyarakat yang majemuk, akan tetapi juga kondisi sosial, ekonomi dan dampak pilkada yang sampai detik ini masih menyisakan kerawanan dan potensi konflik lebih besar.
Untuk itulah perlunya dibangun kesadaran kolektif dari masyarakat untuk memperbaiki kesalehan sosial dan membangu dinamika dilapangan agar kelak tidak muncul lagi konflik laten maupun baru. Selain juga melakukan analisa sosial tentang struktur kekuasaan dan hubungan kekuasaan.
Begitu besarnya peran partai politik dalam merekrut calon kepala daerah sehingga tidak mengherankan apabila kehadiran partai politik seringkali dianggap sebagai kendaraan politik dan pintu yang harus dilalui untuk menuju ke posisi kepala daerah. Selain itu, untuk menjaring calon yang dinilai memiliki kapasitas intelektual dan komitmen moral yang kuat untuk membangun daerah maka mekanisme perekrutan calon harus berlangsung secara demokratis dan transparan seperti diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah.
Selanjutnya, untuk membangun demokrasi dan memperbaiki kondisi bangsa yang sudah terjerat gurita korupsi dan hancur etika sosialnya dan tengah terhuyung oleh kebangkrutan dan kebobrokan moral serta mewujudkan kehidupan politik yang progresif dan transparan, maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menciptakan iklim politik yang kondusif, kompetisi politik yang sehat bagi partai sehingga partai politik menjadi wadah pembinaan dan pematangan calon yang akan ditawarkan kehadapan publik. Dalam hal ini, calon yang diusung adalah mereka yang memiliki kompetensi dan visi, setia memegang amanah, punya integritas moral yang kuat untuk membangun demokrasi dan mengangkat kualitas hidup rakyat, memiliki prestasi intelektual dan sudah teruji pengabdiannya pada masyarakat selama ini serta mampu merespons dan menyokong kebutuhan masyarakat.
Atau seperti yang dikemukakan oleh Herbert Feith dan Lance Castle dalam karya klasiknya Indonesian Political Thinking 1945 – 1965 (1970) bahwa pemikiran politik di Indonesia selain tersegmentasi ke dalam beberapa aliran, juga tantangan berat yang dihadapi oleh elite politik yaitu mereka harus mampu mengangkat dan membebaskan rakyat dari segala bentuk ketertinggalan seperti kemiskinan dan kebodohan.
Walaupun karya Herbert Feith yang ditulis lebih dari tiga dasa warsa lalu, namun kebenaran sinyalemennya masih relevan hingga sekarang ini. Peran partai politk dan elite politik sangat penting dalam memberdayakan masyarakat mengingat posisi dan peran parpol selain sebagai sarana sosialisasi, perekrutan dan komunikasi politik antara elite politik dengan konstituennya juga partai politik menjadi instrumen agregasi dan artikulasi kepentingan serta dapat pula berperan dalam meredam konflik politik. Oleh sebab itu, untuk menciptakan spektrum politik yang cerah dan menghindari pertikaian antar-partai, maka semua parpol harus diberi posisi politik yang sederajat seperti yang diatur misalnya dalam Pasal 8 huruf a UU No 31/2002 tentang hak Parpol yang pada dasarnya memberi perlakuan yang sama, sederajat dan adil.
Selain itu, untuk dapat mewujudkan pengelolaan konflik yang baik, menurut Yash Ghai, seorang Profesor Hukum Publik Universitas Hongkong, ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap komponen masyarakat yang bertikai. Yaitu kepemimpinan yang berwawasan kedepan dan keinginan kuat segenap komponen masyarakat untuk menyudahi dan konflik yang terjadi. Tanpa adanya dua hal tersebut, penanganan konflik akan menjadi persoalan yang berlarut-larut. Keinginan masyarakat untuk menyudahi konflik, dapat dilihat dari berbagai indikator variabel modal sosial yang meliputi kesediaan mereka untuk saling mengerti, tolong menolong, menghormati hak orang lainnya, menerima perbedaan dan pluralitas serta kesediaan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sosialnya. Namun teori ini juga memiliki kelemahan, tidak membicarakan kelambanan dan kemiskinan perangkat antisipasi atas pengaruh luar terhadap zona leadership negara dan masyarakat serta sanksi hukum atas pelanggaran yang jadi penyebab dan akibat terjadinya kerusuhan.
Purna wacana
Berbicara mengenai struktur dan fungsi kaitannya dengan persoalan konflik, bukanlah sesuatu yang sederhana. Struktur maupun fungsi, dalam setiap kehidupan sosial manusia pada hakikatnya tidak seragam, artinya dalam setiap setting kehidupan manusia mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda satu sama lain. Pun halnya demikian dengan konflik, tidak selalu sama, terdapat konflik antar individu maupun antar masyarakat, konflik terbuka maupun tertutup. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah, apapun bentuk ancaman kerawanan sosial maupun konflik yang terjadi pada suatu daerah, perlu sebuah analisa kritis dalam kedudukannya yang tidak begitu saja bisa dilepaskan dari struktur dan fungsi yang ada pada masyarakat tersebut. Dengan kata lain, konflik tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial kehidupan masyarakat, karena konflik pada hakikatnya berfunsi sebagai terciptanya integrasi kehidupan sosial.
Menimbang beberapa isu strategis yang melekat pada masyarakat Jawa Timur seperti yang telah dijelaskan dimuka, serta keragaman etnokultural masyarakat Jawa Timur yang bisa saja menjadi salah satu pemicu gesekan kepentingan antar masyarakat menjelang pemilihan Gubernur tahun 2008, maka yang perlu diantisipasi adalah beberapa daerah/ masyarakat yang mempunyai potensi konflik terbuka maupun tertutup, yaitu meliputi ; Pertama, daerah/ masyarakat yang mempunyai persoalan konflik politik yang sampai saat ini belum tuntas misalnya Kabupaten Tuban, Banyuwangi, maupun daerah lain yang baru saja menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa secara serentak dan mempunyai sejarah konflik sosial.
Kedua, Daerah-daerah yang mempunyai batas kewilayahan yang secara nyata bersinggungan dengan budaya dan karakteristik etnokultural yang berbeda. Potensi kerawanan ini muncul sebagai akibat adanya perbedaan budaya maupun persepsi dalam menyikapi persoalan yang ada. Misalnya adalah komunitas “Maduran” di wilayah etnokultural “arek”, Pesisir utara Pulau Jawa, daerah “Tapal Kuda”, maupun daerah “Mataraman”, selain itu juga komunitas “Panaragan” di seputaran Jember dan sekitarnya, daerah-daerah perbatasan antara “Mataraman” dengan Jawa Tengah, karena dikhawatirkan terjadi penyusupan kepentingan dari luar Jawa Timur.
Ketiga, daerah dengan ketimpangan ekonomi dan sosial yang tinggi. Persoalan inibiasanya muncul di kota-kota besar semisal Surabaya, Sidoarjo dan Malang, yang mempunyai tingkat kerawanan dan potensi konflik tinggi. Kasus semburan lumpur Lapindo yang belum tuntas, persoalan antara buruh pabrik dan pemilik modal merupakan beberapa contoh potensi kerawanan yang setiap saat muncul dan bisa diarahkan untuk tujuan politis kelompok kepentingan tertentu.
Keempat, perseteruan antara PKB kubu Cak Anam dan Gus Dur. Meskipun merupakan persoalan internal komunitas PKB dan Nahdliyin pada umumnya, akan tetapi karena PKB dan NU merupakan kelompok mayoritas di Jawa Timur, maka potensi kerawanan ini perlu mendapatkan perhatian serius.
Kelima, daerah-daerah yang mempunyai benih konflik yang terpendam. Potensi kerawanan ini disebabkan oleh adanya konflik laten yang sengaja dipendam dan setiap saat bisa muncul ketika ada momen tertentu, kasus carok massal di Madura, penembakan warga Alas Tlogo di Pasuruan, perseteruan anggota pencak silat antara Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) di Madiun dan sekitarnya, merupakan beberapa contoh kasus masih banyaknya konflik laten yang tinggal menunggu moment untuk muncul kembali ke permukaan, apalagi ketika dibawa ke ranah politik praktis.