"Selamat Datang Di Bumi Reyog Ponorogo"

Sugeng rawuh

Rabu, 16 Januari 2008

Pergulatan Jaranan Thik Melawan Dominasi Reyog

Sebuah Pertarungan Identitas Antara Jaranan Thik Melawan Dominasi Reyog

(Disunting dari tulisan Ahmad Zainul Hamdi dan Jamal Mustofa)


Membincang istilah Jaranan Thik, maka sangat lekat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Desa Singgahan Kecamatan Pulung. Karena dipercaya, dari sinilah istilah dan keberadaan Jaranan Thik itu lahir. Singgahan merupakan sebuah desa yang terletak di lereng sebelah barat pegunungan Wilis dan membawahi enam dusun yang meliputi Krajan, Ngradi, Singgahan Lor, Cengkir, Mojo, dan Puthuk Suren, mungkin bisa mewakili gambaran kehidupan berkesenian pada umumnya di Ponorogo. Atau paling tidak, mewakili dinamika politik budaya lokal yang khas di sana semenjak reyog ditetapkan sebagai ikon resmi budaya daerah Ponorogo.

Apa yang disebut dengan reyog thik sesungguhnya memiliki banyak nama. Nama lain yang sering disebut baik oleh senimannya maupun masyarakat penikmatnya adalah jaranan senterewe, jaranan, reyog p(b)lok, reyog thik, dan kuda lumping.

Kesenian ini tidak hanya kita temukan di Ponorogo, tapi juga di beberapa wilayah lain, terutama di lereng Gunung Wilis, misalnya, Trenggalek, Tulung Agung, Kediri dan Nganjuk. Di Ponorogo kesenian ini berkembang pesat terutama di daerah timur dan selatan, misalnya, di wilayah kecamatan Pulung dan Slahung.

Yang menarik untuk dicatat dari kesenian ini bukanlah keunikannya, tapi terutama pada pergulatannya untuk memperoleh status yang sama dengan reyog. Seakan sudah menjadi kesepakatan bulat bahwa reyog adalah kesenian khas Ponorogo. Penyebutan sebagai kesenian khas memiliki sekian konsekuensi. Konsekuensi ini tidak semata-mata pada jaminan keberlangsungan reyog, tapi juga konsekuensi social-politik berikutnya.

Sejauh berbicara tentang klaim originalitas dan otentisitas, maka keberadaan reyog sebagai kesenian yang "asli" Ponorogo seakan-akan sudah tidak lagi terbantahkan. Dari sini kemudian bertemulah dengan kepentingan kekuasaan politik yang semasa Orba berlomba-lomba untuk memiliki ikon daerah, tempat di mana "mimpi" eksotisme masa lalu, jati diri daerah, sampai kepentingan politik bercampur baur menjadi satu. Reyog kemudian "ditangkap" oleh penguasa dan menjadi proyek politik. Mulailah mesin politik bergerak untuk mengamankan reyog, mulai dari proyek pembinaan sampai upaya-upaya perlindungan dan pemekarannya. Kebesaran reyog melahirkan ketersingkiran kesenian-kesenian tradisional lain, salah satunya adalah reyog thik.

Bagi orang yang tidak mempertimbangkan konteks pergulatan ini, penjelasan para seniman reyog thik tentu terkesan mengada-ada. Di kalangan komunitas kesenian ini, reyog thik diyakini sebagai kesenian asli Ponorogo. Penyebarannya di daerah Trenggalek, menurut Sugito, salah seorang seniman reyog thik, adalah karena peran Raden Mas Broto. Mas Broto adalah salah satu tokoh dalam sejarah lisan tentang pertarungan antara dua orang warok Ponorogo, Suro Menggolo dan Suro Gentho. Kisah ini memang sangat terkenal di wilayah Mataraman, terutama di Ponorogo. Kedua warok tersebut bertarung untuk memperebutkan Mas Broto, pemuda Trenggalek, untuk menjadi menantunya. Reden Mas Broto inilah kemudian yang membawa kesenian ini ke daerah timur gunung Wilis, antara lain, ke Tulungagung, Trenggalek dan Kediri.

Menurut penuturan Mahfud (seorang guru sekaligus aktifis LSM), mengenai nasib kesenian thik ini menarik untuk disimak. "Kelompok Jaranan Thik didirikan atas nama masyarakat Singgahan. Tak jarang mereka iuran sendiri untuk menggelar pertunjukan. Sementara, reyog menerima dana resmi dari pemerintah. Ketika menyebut tokoh reyog, sama artinya dengan menyebut para tokoh desa", begitu ujarnya.

Ungkapan di atas sedikitnya memberi gambaran bagaimana posisi politik Jaranan Thik dalam konteks kehidupan kesenian di Singgahan. Perseteruan antara Jaranan Thik dan reyog tidak semata ketegangan antar kelompok kesenian, tapi juga bagian dari masalah politik lokal.

Di Singgahan reyog selalu menjadi ikon resmi desa. Meski sebenarnya Singgahan bisa dibilang desa seni yang subur oleh berbagai jenis kesenian tradisional macam reyog, Jaranan Thik, gajah-gajahan, tayub, keling, dan sebagainya. Dalam setiap acara-acara resmi, reyog pasti dipentaskan. Dananya pun kerap ditanggung desa. Bahkan kata Pak Saiman, setiap acara desa yang ada hubungan dengan keramaian, seperti peringatan kemerdekaan RI atau bersih desa, reyog bisa dipastikan menjadi kesenian yang dipertunjukkan. Hanya sesekali saja kesenian lain, seperti Jaranan Thik, tampil. Itupun kalau ada “dana ekstra”.

Singgahan sebagai Wilayah "Pertarungan"

Singgahan adalah sebuah desa yang terletak di lereng sebelah barat pegubungan Wilis. Desa ini terdiri dari enam dusun: Krajan, Ngradi, Singgahan Lor, Cengkir, Mojo, dan Puthuk Suren. Sekalipun bisa dikatakan sebagai daerah pinggiran, namun Singgahan terbilang mudah untuk dijangkau. Dengan menggunakan sepeda motor, desa ini bisa dijangkau hanya sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota.

Menurut historiografi lokal yang ditulis oleh Senodijokarso (Kepala Desa Singgahan di era 80-an), sejarah Singgahan memiliki kaitannya dengan Pajang. Daerah ini dulunya dihuni oleh Aria Jipang yang membangun rumah joglo (Jawa) di tengah hutan. Setelah Aria Jipang meninggal, keluarganya kemudian meninggalkan rumah tersebut sehingga daerah ini kembali menjadi hutan rimba.

Rumah joglo peninggalan Aria Jipang yang terlantar di tengah hutan tersebut kemudian dihuni oleh Raden Bagus Panjul, seorang putra patih dari Kota Lama Ponorogo. Ia sesungguhnya menemukan rumah tersebut tanpa sengaja. Ia diusir oleh orang tuanya ke hutan sebelah timur Pulung. Pada saat itulah, ia menemukan rumah joglo peninggalan Aria Jipang tersebut.

Di dalam rumah tersebut, Raden Panjul menemukan benda-benda pusaka berupa keris dan boneka. Raden Panjul meyakini bahwa rumah tersebut adalah tempat menyimpan (Jawa: nyinggahne) barang-barang pusaka. Dari keyakinannya inilah, ia kemudian memberi nama tempat ini Singgahan, yang berarti tempat untuk menyimpang barang (pusaka).

Sejarah terus berkembang. Singgahan yang pada awalnya berupa hutan belantara kemudian menjadi wilayah perkampungan yang ramai. Menurut lacakan Senodijokarso, kepala desa pertama Desa Singgahan adalah Lurah Martodipuro pada tahun 1851. Tercatat sampai tahun 1982 telah terjadi empat belas kali pergantian kepala desa.

Desa ini bisa disebut sebagai desa seni. Kita akan sangat mudah menemukan berbagai jenis kesenian tradisional, misalnya, reyog, Jaranan Thik, gajah-gajahan, tayub, keling, dan sebagainya. Data desa tahun 1982 menyatakan bahwa di desa tersebut terdapat dua unit reyog, empat orang dalang wayang kulit, lima karawitan putra, empat karawitan putri, dua ketoprak, serta berbagai seniman mandiri.

Kelompok Jaranan Thik sendiri baru muncul tahun 1998. Pada Agustus tahun 1998, seperti desa-desa lain, Desa Singgahan akan mengadakan perayaan HUT RI. Tidak ketinggalan pula warga Dusun Ngradi, Singgahan, bermaksud mengadakan perayaan dengan berbagai acara perlombaan. Untuk menambah kemeriahan perayaan, sebagian warga berinisiatif untuk mengiringinya dengan musik. Semula hendak diiringi saja dengan musik dari tape recorder, tapi kemudian diputuskan untuk dimeriahkan dengan alat musik gamelan. Karena tidak punya, mereka kemudian meminjam perlatan musik gamelan. Dari sini kemudian mereka bersepakat untuk mendirikan kesenian Jaranan Thik. Pelatihnya saat itu adalah Yanto, warga Dusun Ngradi yang menikah dengan orang Blitar sehingga tahu banyak tentang kesenian jaranan. Kelompok ini kemudian dinamakan Turonggo Sakti.

Tidak seperti reyog yang diprakarsai oleh pemerintah desa, thik sejak awal muncul dari keinginan masyarakat bawah. Oleh karena itu, seluruh pembiayaannya sejak awal ditanggung oleh masyarakat sendiri dengan cara urunan yang kemudian dipinjamkan kembali ke anggotanya dengan sistem bunga.

Pendirian Jaranan Thik Turonggo Sakti mendapat respon yang kurang baik dari komunitas reyog karena dianggap akan menggeser kedudukan reyog yang sudah mapan di Singgahan. Perseteruan ini bisa dilihat, misalnya, pada kasus mundurnya Pak Saiman Kancil, Ketua Turonggo Sakti pertama. Pak Saiman hanya menjalankan tugasnya selama tiga bulan. Pak Isnen, Ketua Turonggo Sakti saat ini, mengomentari mundurnya Pak Saiman dengan istilah "tidak tahan". Maksudnya, Pak Saiman tidak tahan memimpin Jaranan Thik. Hal ini karena awalnya dia adalah salah satu tokoh reyog di Desa Singgahan. Sementara, banyaka tokoh reyog saat itu yang memandang thik dengan sikap permusuhan karena dianggap akan menggeser kedudukan reyog sebagai kesenian yang sudah mapan di Singgahan. Paling tidak, inilah yang dirasakan oleh orang-orang Jaranan Thik. Sebagaimana yang diungkapkan Agus, salah seorang tim kreatif Turonggo Sakti, bahwa beberapa tokoh reyog yang bertepatan penduduk Ngradi sangat terang-terangan menolak Jaranan Thik.

Sikap yang terkesan memusuhi tersebut, misalnya, terlontar dari ucapan konco-konco reyog terhadap orang-orang thik, "Sudah punya reyog kok ngurusi kesenian lain, tidak asli Ponorogo lagi". Ucapan-ucapan seperti ini tentu menunjukkan adanya ketegangan di antara komunitas Jaranan Thik dan reyog. Sekalipun tidak pernah muncul dalam suatu konlik terbuka, tapi perasaan bermusuhan yang diperlihatkan oleh konco-konco reyog sangat terasa bagi komunitas thik.

Pak Saiman sendiri menyatakan bahwa kemundurannya karena semata-mata karena terbentur oleh jadual latihan yang bersamaan. Padahal saat itu, reyog sedang latihan intensif menghadapi lomba (Festival Reyog Tahunan di alun-alun Kota Ponorogo). Akhirnya, dia memutuskan untuk lebih konsentrasi ke reyog sekalipun dia saat itu dia menjadi orang nomor satu di thik yang tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan di thik mengingat thik yang baru berdiri.

Akan tetapi, tampaknya alasan mundurnya Pak Saiman dari Jaranan Thik tidak semata-mata karena latihan tersebut karena menurut pengakuannya, latihan reyog tidak mengganggu "tugas"-nya sebagai Ketua Turonggo Sakti. Agaknya, sikap yang kurang bersahabat yang ditunjukkan oleh konco-konco reyog terhadap Jaranan Thiklah yang membuatnya harus membuat keputusan untuk mundur dari Jaranan Thik dan kembali ke reyog. Sekalipun tidak mengakui terus-terang adanya tekanan dari konco-konco reyog terhadap posisinya di Jaranan Thik, namun secara implisit dia menyatakan bahwa ketidakhadirannya dalam latihan-latihan reyog membuatnya mendapatkan tekanan sosial dari komunitas reyog. "Marai wonten ngriko niku sampun dicatheti, nek wayah medal mboten wonten, diucek mawon kaleh pimpinane (Karena di sana (baca: di kelomopk reyog) itu sudah tercatat, sehingga kalau tidak ada pada saat reyog mau tampil, didesak terus oleh pimpinannya)," katanya. Apalagi kalau pas dibutuhkan di reyog tidak ada dan ada kabar sedang ada di thik, maka tekanan itu akan semakin terasa langsung dan berat. Menghadapai situasi ini, Pak Saiman dihadapkan pada dua pilihan: reyog atau thik. Ketika ditanya tentang situasi ini, komentar yang keluar adalah, "ngeten iki lho sing nggarahi biathuk kulo mboten enak (Begini itu lho yang membuat saya pusing)".

Menurut Mahfud, salah seorang penggagas berdirinya Turonggo Sakti, Pak Saiman memang sengaja diminta oleh komunitas Jaranan Thik untuk menjadi Ketua Turonggo Sakti dengan maksud agar bisa menjembatani antara Jaranan Thik dengan reyog karena melihat posisinya sebagai salah satu tokoh reyog di Desa Singgahan.

Adalah beralasan bagi komunitas Jaranan Thik untuk merasa khawatir. Sikap tidak bersahabat konco-konco reyog mungkin bisa dipahami semata-mata sebagai persaingan antarkelomopok kesenian, akan tetapi berkonflik dengan reyog tentu sangat beresiko. Resiko yang paling terlihat jelas adalah perpecahan warga desa. Bagi warga desa, ini sudah pasti harus dihindari. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah resiko politik. Reyog adalah kesenian yang sudah lama berdiri dan langsung dimiliki oleh desa. Berseteru dengan reyog tentu akan mengakibatkan sesuatu yang tidak baik bagi keberlangsungan thik. Apalagi, di antara konco-konco reyog yang menunjukkan ketidaksenangannya tersebut terdapat pamong desa. Oleh karena itu, maka salah satu cara yang ditempuh untuk meredam suasana yang tidak sehat ini adalah dengan membangun jembatan komunikasi antara Jaranan Thik dengan reyog agar tidak terjadi salah paham. Untuk menghilangkan kesalahpahaman dan saling curiga inilah yang membuat orang-orang Jaranan Thik meminta Pak Saiman Kancil, salah seorang tokoh reyog, untuk menjadi ketuanya.

Permohonan kepada Pak Saiman untuk menjadi ketua Jaranan Thik bukanlah satu-satunya strategi yang ditempuh. Mereka juga sowan ke Pak Parsun, ketua reyog saat itu, untuk mengkomunikasikan pendirian Jaranan Thik sekaligus menyatakan bahwa pendirian Jaranan Thik sama sekali tidak berniat untuk menyaingi reyog. Saat ini, kedua orang tersebut berposisi secara unik. Pak Saiman sejak keluar dari Jaranan Thik kembali menjadi salah satu tokoh reyog, sedang Pak Parsun ketika sudah tidak menjadi ketua reyog, menjadi "Pembina informal" Jaranan Thik.

Secara pribadi, pak Saiman sebetulnya berharap antara komunitas Jaranan Thik dengan reyog bisa akur. Reyog, thik, maupun kesenian lain seharusnya saling mendukung sehingga semuanya bisa berkembang dengan baik. Ini juga yang mungkin menjadi alas an ketika dia menerima pinangan orang-orang Jaranan Thik untuk menjadi Ketua Turonggo Sakti. Kisah di atas menunjukkan betapa dominannya reyog di Ponorogo. Reyog seakan-akan telah menjadi penguasa tunggal jagad kesenian di Ponorogo sehingga setiap ekspresi kesenian non-reyog harus memperhitungkan berbagai resiko yang mungkin akan timbul terkait dengan sikap konco-konco reyog. Resiko menjadi "kesenian yang dipersoalkan" adalah sesuatu yang sudah harus diperhitungkan sejak awal. Bisa dikatakan bahwa ruang berkesenian adalah milik reyog. Jika ada kesenian non-reyog yang bediri, maka ia harus mendapat ijin dari reyog. Jagad ekspresinya adalah jagad yang dianugerahkan oleh reyog tanpa harus menggeser, apalgi menggugat, reyog sebagai kesenian yang asli dan paling berhak hidup serta menyandang nama besar Ponorogo.

Paling tidak, ada dua faktor yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena perseteruan ini. Pertama, Jaranan Thik dianggap sebagai pesaing reyog. Oleh karena itu, maka komunitas reyog serta-merta menghadapi Jaranan Thik dalam posisi berhadap-hadapan. Kedua, stigma dari komunitas reyog bahwa Jaranan Thik adalah kesenian import, bukan kesenian asli Ponorogo. Sebagaimana yang dinyatakan Pak Isnen, tidak jarang ia mendengar ungkapan orang-orang yang tidak senang jaranan dengan olokan sebagai berikut, "dudu kesenian asli kok diurip, (bukan kesenian asli kok diurusi).

Sejak berdirinya di tahun 1998 sampai sekarang, Turonggo Sakti sudah mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan. Setelah Pak Saiman Kancil yang hanya memimpin selama tiga bulan, Turonggo Sakti kemudian diketuai oleh Pak Bejo. Kepemimpinan Pak Bejo pun tidak lama yang kemudian dilanjutkan oleh Pak Isnen sampai sekarang.

Antara Jaranan Thik (Ponorogo) dan Sentherewe (non-Ponorogo)

Apa yang disebut dengan Jaranan Thik sesungguhnya memiliki banyak nama. Nama lain yang sering disebut baik oleh senimannya maupun masyarakat penikmatnya adalah reyog thik atau reyog p(b)lok, jaranan, jaranan sentherewe, dan kuda lumping. Akan tetapi, secara umum, masyarakat sering menyebutnya jaranan tjik atau jaranan sentherewe. Di Singgahan, orang menyebutnya dengan istilah "reyog thik", sedang reyog disebut dengan istilah "reyog dadak".

Dilihat dari konsep besarnya, kesenian ini sesungguhnya tidak hanya ditemukan di Ponorogo, tapi juga di beberapa wilayah lain, terutama di lereng timur Gunung Wilis, misalnya, Trenggalek, Tulung Agung, dan Kediri. Bahkan di Kediri, jaranan dianggap sebagai kesenian khas daerah. Di Ponorogo, kesenian ini berkembang pesat terutama di daerah timur dan selatan, misalnya, di wilayah kecamatan Pulung dan Slahung.

Sekalipun demikian, harus juga dinyatakan adanya beberapa perbedaan, sekalipun mungkin tidak signifikan, antara Jaranan Thik dengan jaranan yang terdapat di wilayah timur pegunungan Wilis. Jaranan Thik adalah satu jenis kesenian yang titik sentralnya ada pada penari kuda lumping yang terdiri dari empat orang. Penari yang lain adalah satu orang pemain disebut celengan (babi) dan dua atau tiga orang menari ulo-uloan (ular). Ulo-uloan dibuat dibuat dari sejenis kayu dadap dan dibuat menyerupai kepala naga. Jika mulut naga tersebut digerakkan dengan dua tangan akan menghasilkan bunyi plok atau blok, atau akan berbunyi thik jika kepala nega itu kecil. Bunyi inilah yang kemudian membuat kesenian ini disebut oleh masyarakat Ponorogo dengan istilah reyog plok atau reyog blok atau reyog thik atau Jaranan Thik.

Istilah Jaranan Thik dan jaranan sentherewe memang seringkali disebut secara bergantian, namun bagi komunitas Jaranan Thik sendiri, kedua istilah tersebut menunjukkan perbedaan dalam konsep pertunjukan. Menurut Pak Isnen, Ketua Turonggo Sakti, di dalam Jaranan Thik, penarinya menari secara lembut dengan standar tari keraton. Hal yang paling menunjukkan perbedaan adalah pakaian. Pakaian penari Jaranan Thik bisaanya seperti pakaian wayang orang, lengkap dengan badong (sayap yang menempel di pangkal lengan atas) dan kuluk (penutup kepala). Sementara jaranan sentherewe lebih menekankan pada pertunjukan jaranan di mana para penarinya kesurupan dengan konsep tarian yang cepat dan dinamis. Pakaian penari jaranan sentherewe seperti penari jathil reyog dengan ikat kepala.

Perbedaan di antara keduanya juga terletak pada perangkat musiknya. Pada Jaranan Thik alat yang dipakai adalah gendang, dua buah gong, dua buah kenong, dan terompet. Sementara dalam jaranan sentherewe menambahkan beberapa instrument musik, misalnya, saron dan demung.

Menurut Sugito, salah seorang sesepuh Jaranan Thik, istilah sentherewe didasarkan pada bentuk tariannya yang cepat, dinamis, dan atraktif, di mana penarinya sedang dalam keadaan kesurupan. Menurutnya, istilah "sentherewe" berasal dari dua kata "senthe, dan rawe". Keduanya adalah sejenis tanaman yang getahnya bisa menimbulkan rasa gatal yang hebat jika mengenai tubuh manusia. "Tarian dalam sentherewe itu tidak memiliki pagon, apalagi kalau sudah ndadi, kemudian penarinya bergerak seperti orang yang kena senthe atau rawe," tegasnya.

Menurut pengakuan Mahfud, pada awalnya yang berkembang di Ponorogo adalah Jaranan Thik, yaitu tarian kuda lumping biasa, tanpa ada unsur kesurupan di dalamnya. Tarian ini disebut dengan istilah pagon atau tarian standar kuda lumping. Perkembangan berikutnya, Jaranan Thik mendapat pengaruh kesenian jaranan dari wilayah Tuungagung, Trenggalek, dan Kediri yang lebih menekankan pada unsur kesurupannya. Jaranan dari wilayah Timur pegunungan Wilis inilah yang kemudian di Ponorogo terkenal dengan sebutan jaranan sentherewe.

Dengan mempertimbangkan antusiasme penonton yang lebih menyukai jenis jaranan sentherewe karena lebih dinamis dan atraktif, Jaranan Thik Ponorogo akhirnya juga mengadopsi sentherewe dalam konsep pertunjukannya. Sekalipun tari jaranan standar (pagon) di Ponorogo mengalami penyusutan sejak diterjang gelombang sentherewe dari wilayah timur, namun tarian standar atau pagon tetap dipertahankan kemudian dilanjutkan dengan acara ndadi, yaitu tarian jaranan di mana para penarinya dalam keadaan kesurupan. Dari sinilah, maka di masyarakat ponorogo, penyebutan Jaranan Thik dan jaranan senterewe saling dipertukarkan.

Di Dusun Ngradi sendiri ada perkembangan terbaru dari Jaranan Thik ini. Tarian kuda lumping standar dikemas dalam bentuk cerita Naga Baru Klinthing, sebuah legenda yang menceritakan asal mulanya telaga Ngebel, Ponorogo. Bisa dikatakan bahwa ini adalah murni kreasi para seniman jaranan Dusun Ngradi. Dalam kreasi baru ini kita akan mendapatkan orang yang berperan sebagai warok, sebagaimana dalam tarian reyog. Setelah rangkaian kisah legenda Naga Baru Klinthing selesai, sentherewe atau acara ndadi kemudian dimulai.

Perebutan Makna Otentisitas

Bagi orang yang tidak mempertimbangkan konteks pergulatan Jaranan Thik di Ponorogo, keyakinan para seniman Jaranan Thik bahwa Jaranan Thik adalah kesenian asli Ponorogo mungkin terdengar mengada-ada. Tapi inilah keyakinan yang dipegang kuat oleh komunitas Jaranan Thik, paling tidak sebagaimana yang bias ditemukan di Dusun Ngradi. Di kalangan masyarakat Ponorogo, banyak yang menyatakan bahwa satu-satunya kesenian yang asli Ponorogo adalah reyog. Jaranan Thik awalnya muncul di wilayah timur Pegunungan Wilis (Tulungagung, Trenggalek, Kediri) yang kemudian masuk ke Ponorogo.

Bagi komunitasnya sendiri, jaranan diyakini sebagai kesenian asli Ponorogo. Penyebarannya di daerah Trenggalek, menurut Sugito, salah seorang seniman reyog thik, adalah karena peran Raden Mas Broto. Mas Broto adalah salah satu tokoh dalam sejarah lisan rakyat Ponorogo tentang pertarungan antara dua orang warok Ponorogo, Suro Menggolo dan Suro Gentho. Kisah ini memang sangat terkenal di Ponorogo. Kedua warok tersebut bertarung untuk memperebutkan Mas Broto, pemuda Trenggalek, untuk menjadi menantunya. Reden Mas Broto inilah kemudian yang membawa kesenian ini ke daerah timur gunung Wilis, antara lain, ke Tulungagung, Trenggalek dan Kediri.

Tentu saja klaim ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Akan tetapi, keyakinan para seniman Jaranan Thik ini bisa dibaca sebagai salah satu bagian dari upayanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai kesenian yang memiliki hak hidup di tanah Ponorogo sebagaimana reyog.

Keyakinan tentang Jaranan Thik sebagai kesenian asli Ponorogo tentu saja tidak bisa menggugurkan "kenyataan" bahwa reyog adalah kesenian "asli" Ponorogo. Pengakuan tentang otentisitas dan originalitas reyog telah sedemikian kokoh dengan pengakuan yang telah tercatat dalam kanon-kanon resmi kebudayaan nasional. Oleh karena itu, maka klaim otentisitas Jaranan Thik saja tidak cukup untuk mendelegitimasi reyog, tapi harus dibangun kisah lain. Di sinilah kisah pertarungan dua warok di atas mendapatkan signifikansinya.

Sebagaimana yang diakui secara resmi oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo bahwa asal-muasal reyog merujuk pada sejarah perseteruan antara Batoro Katong dan Ki Ageng Kutu. Atau paling tidak, Sejarah Katong-Kutu adalah salah satu versi yang banyak diakui oleh masyarakat Ponorogo. (Ada banyak versi dalam sejarah lisan tentang asal-usul reyog Ponorogo, salah satunya adalah versi Katong-Kutu. Lihat Tim Penyusun, Pedoman Dasar Kesenian Reog dalam Pentas Budaya Bangsa, 1993). Dari sini, maka lahirlah klaim baru bahwa Jaranan Thik sesungguhnya adalah lebih tua daripada reyog karena kisah Ki Ageng Kutu dan Batoro Katong terjadi jauh sesudah kisah pertarungan Suro Menggolo dan Suro Gentho.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahfud, reyog memang lahir dan berkembang di Ponorogo, namun ia lahir belakangan sesudah Jaranan Thik. Selanjutnya, "…sangat mungkin reyog diadaptasi dari thik dengan menambahkan unsure Bali," ungkapnya dengan yakin

Lengkaplah sudah cara untuk mendelegitimasi reyog. Di tangan komunitas seniman Jaranan Thik, keangkuhan reyog dijungkirbalikkan dengan mengembangkan ceritanya sendiri. Tidak peduli apakah dengan cara itu reyog kemudian bisa diturunkan dari singgasananya atau tidak, tapi komunitas seniman jaranan berusaha melakukan negosiasi atas posisinya di masyarakat Ponorogo. Dengan kata lain, komunitas Jaranan Thik berusaha mendekonstruksi (membongkar) wacana dominan yang ada selama ini dengan menawarkan wacana baru bahwa sesungguhnya antara Jaranan Thik dengan reyog sama-sama kesenian asli Ponorogo. Tampaknya, bagi seniman Jaranan Thik, keberhasilan ini baru separuh jalan. Jalan berikutnya adalah mengukuhkan keunggulannya dengan menyatakan bahwa reyog adalah kesenian yang lebih muda usianya dibanding Jaranan Thik, dan ia tidak lebih dari sekedar kesenian yang diadaptasi dari Jaranan Thik dengan mengadopsi unsur dari luar Ponorogo.

Dengan penjelasan yang sama, kita juga bias membaca kreasi baru Jaranan Thik Turonggo Sakti. Kreasi tersebut bias dianggap sebagai sebuah siasat para seniman jaranan untuk kembali menyatakan kepada masyarakat Ponrogo bahwa jaranan bukanlah "sang liyan (other)" bagi orang Ponorogo. Dengan mengambil legenda Naga Baru Klinthing sebagai konsep pertunjukan, mereka hendak menyatakan bahwa Jaranan Thik bukanlah kesenian asing sebagaimana yang banyak dituduhkan oleh komunitas reyog, tapi jenis sendratari yang juga muncul dari bumi Ponorogo sendiri seperti reyog. Jika reyog memiliki situs asal-usulnya di Kerajaan Bantarangin, yang lokasinya diyakini ada di wilayah barat kabupaten Ponorogo, maka Jaranan Thik juga mengidentifikasi masa lalunya pada wilayah Ngebel.

Praktek siasat ini semakin terlihat dengan dimasukkannya unsur warok ke dalam pertunjukannya. Sejauh berbicara warok, maka imajinasi orang akan langsung tertuju kepada reyog Ponorogo. Penghadiran sosok warok ke dalam pertunjukan Jaranan Thik akan melahirkan impresi keakraban. Jaranan Thik tidak lagi memunculkan imajinasi tentang dunia luar yang jauh di sana, tapi melahirkan sesuatu yang intim, yang akrab, yang sudah lama dikenal, karena ia adalah bagian dari diri sendiri.

Tentu saja bagi para seniman jaranan, legenda Naga Baru Klinthing yang merujuk ada Telaga Ngebel memiliki logikanya sendiri. Ada keyakinan di lingkungan seniman jaranan untuk tidak menampilkan jaranan di area Telaga Ngebel. Mereka meyakini bahwa bermain jaranan di area Telaga Ngebel sangat beresiko. "Nyawa adalah taruhannya," adalah ungkapan yang biasa keluar dari para seniman jaranan tentang kemungkinan menampilkan jaranan di area Telaga Ngebel.

Sebagaimana setiap kepercayaan rakyat, keyakinan ini tidak tahu bagaimana asalnya. Pun tidak bisa sungguh-sungguh bisa dibuktikan atau sekedar merujuk suatu kejadian yang bisa membenarkan keyakinan tersebut. Sesuatu yang mungkin untuk dihubungkan dengan keyakinan tersebut adalah kepercayaan orang Ponorogo tentang keangkeran Telaga Ngebel. Memainkan jaranan yang di dalamnya ada unsur kesurupannya di telaga Ngebel akan melahirkan kengerian yang dahsyat. Seperti orang yang bermain-main dengan bensin di dekat api. Tapi apapun dengan berbagai kemungkinan spekulatif tersebut, keyakinan ini kemudian diolah sedemikian rupa oleh seniman Jaranan Thik untuk dijadikan modal dalam menegosiasikan konsep originalitas, terutama dengan komunitas reyog.

Dari Kesenian ke Politik

Melukiskan hubungan thik dengan pemerintah desa di satu sisi, dengan hubungan reyog dengan pemerintah desa di sisi lain, akan terlihat dalam pernyataan Mahfud, "Kalau reyog di Singgahan secara resmi mendapat dana dari pemerintah. Kelompok thik didirikan atas nama masyarakat Singgahan. Tidak jarang ada iuran untuk kepentingan reyog. Ketika menyebut tokoh reyog sama artinya dengan menyebut para tokoh desa."

Ungkapan Mahfud di atas memberi gambaran bagaimana posisi politik Jaranan Thik dalam konteks kehidupan kesenian di Desa Singgahan. Perseteruan antara Jaranan Thik dengan reyog tidak semata-mata perseteruan antara kelompok kesenian, tapi juga mengarah pada masalah-masalah politik. Karena reyog selalu menjadi ikon resmi desa yang dihidupi oleh pemerintahan desa, maka reyog thik akhirnya diperspsi sebagai tindakan perlawanan terhadap aparat desa. Tidak mengherankan jika Turonggo Sakti hamper tidak pernah terlibat dalam setiap perhelatan sosial-politik yang secara resmi diprakarsai oleh penguasa politik desa Singgahan. Sebagaimana yang dinyatakan Pak Saiman, setiap acara desa yang ada hubungan dengan keramaian, misalnya peringatan kemerdekaan RI atau bersih desa, reyog bisa dipastikan akan menjadi kesenian yang ditampilkan. Hanya sesekali thik tampil jika ada "dana ekstra".

Berbicara tentang dana untuk kesenian, harus diakui bahwa bahkan reyog pun tidak pernah mendapatkan "dana pembinaan" yang memadai dari dana desa. Kalaupun ada dana insentif dari desa, jumlahnya sangat tidak memadai. Tidak jarang masyarakat sendirilah yang menanggung kekurangan dana yang jumlahnya jauh lebih besar dari dana bantuan desa. Akan tetapi masalahnya di sini adalah sikap desa yang dirasakan tidak adil oleh komunitas kesenian selain reyog. Sekecil apapun, reyog mendapatkan bantuan dana yang itu menandakan perlakuan istimewa desa terhadap reyog, sikap yang hampir tidak pernah dirasakan oleh thik, misalnya.

Tentu saja, sikap ini dirasa oleh seniman Jaranan Thik sebagai sikap yang tidak fair. Bahkan, menurut Mahfud, pihak aparat dusun Ngradi terkesan menghalang-halangi ketika Jaranan Thik hendak tampil dalam acara-acara dusun. Suara yang sering terdengar dari pihak aparat adalah bahwa Jaranan Thik memecah belah persatuan.

Apa yang dianggap sebagai persatuan di sini adalah ketika ekspresi kesenian masyarakat hanya terwadahi dalam reyog. Imajinasi persatuan bagi mereka adalah tidak adanya diversifikasi dalam ekspresi berkesenian. Dengan konsep persatuan yang dipahami seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Jaranan Thik distigma sebagai kesenian pemecah belah persatuan. Apalagi, sejak awal memang beberapa aparat desa yang menjadi bagian dari komunitas reyog menunjukkan rasa tidak senangnya ketika Jaranan Thik Turonggo Sakti berdiri.

Retorika "persatuan" untuk menghalangi tampilnya Jaranan Thik menandakan mulai bergesernya isu dari kontestasi antarkesenian ke konflik ideologis-politis. Penilaian seperti ini bukan mengada-ada. Setidaknya, sikap inilah yang pernah dirasakan oleh komunitas Jaranan Thik dari Kepala Dusun Ngradi. Komunitas Jaranan Thik merasa kamituo tidak suka dengan adanya kelompok Jaranan Thik Turonggo Sakti di dusunnya. Jadilah kemudian sikap suka dan tidak suka ini diekspresikan dalam bahasa-bahasa politik. Komunitas Jaranan Thik dipandang sebagai anggota masyarakat yang secara politis melawan aparat pemerintahan Dusun. Misalnya, suatu hari, komunitas thik mengadakan kerja bakti membersihkan saluran air di pingir jalan Dusun Ngradi. Hanya karena kegiatan ini tidak diinformasikan ke aparat pemerintahan Dusun, mereka dituduh akan mendirikan kamituwan (dusun) sendiri.

Dalam konteks kehidupan desa, di mana harmoni sosial menjadi sesuatu yang sangat berharga, tuduhan tersebut mengindikasikan suatu konflik politik yang cukup serius. Di samping itu, harus juga dipertimbangkan bahwa kehidupan politik desa masih banyak dibalut oleh bias-bias feodalisme. Dalam konteks politik seperti ini, orang atau kelompok orang yang secara politis dituduh oleh aparat desa telah keluar dari kehidupan bersama, bisa mendapatkan berbagai resiko sosial-politik.

Harus juga diketahui bahwa Jaranan Thik bukanlah satu-satunya kesenian non-reyog yang ada di Desa Singgahan. Ada beberapa jenis kesenian lain yang bisa diidentifikasi berdasrkan dusunya. Misalnya, jika Jaranan Thik menjadi ikon kesenian orang-orang Dusun Ngradi, maka Dusun Mojo memiliki kesenian tradisional yang mereka sebut Keling, dan Dusun Puthuk Suren memiliki gajah-gajahan. Tidak menutup kemungkinan jika kisah konflik antara Jaranan Thik dan reyog serta perasaan keteringkiran komunitas Jaranan Thik di Dusun Ngradi juga dialami oleh komunitas kesenian non-reyog di dusun-dusun lain.

Inilah potret singkat perseteruan reyog dengan Jaranan Thik, di mana sejarah, legenda, dongeng, menjadi wilayah perebutan makna untuk mengukuhkan posisi masing-masing dan saling melakukan delegitimasi. Wilayah-wilayah yang diperebutkan itu tentu saja bukan sebuah dunia yang isolatif, tapi sebuah dunia yang langsung terhubung dengan praktek-praktek politik lokal.

3 komentar:

J1 S'ka mengatakan...

sakmenika kula maos artikelipun panjenengan, kulo remen, amargi panjenengan ngalestareaken budaya jawi ingkang adiluhung.
kapan-kapan klo ada waktu luang, lihat blogger kami ya,, Gembosxiipa2.blogspot.com

anas arrosyid hanafi mengatakan...

jalaran critone jaranan kuwi sejatine soko crito reyog, poro gemblak sing di openi karo klono dados iri, merga klono ora ngurusi uripe poro gemlak, sampe2 ora di wenehi managn, mergo ngurusi songgolanget, daos poro gemlak sing cacahe 144 kuwi mangan sak onok'e, koyo ajang, gelas, suket ( pakane jaranane 144), ngokop banyu nag ember mergo gelase wis di cacah, lan poro warok ngertosi kelakoan poro gemblakane klono. langsung mawon di dadosaken jaranan gemblak, sing keloro2 pas klono sak jajarane nyang doho teko ngebel di dang karo barok klenteng, sing arupanipun nogo kang ageng lan panjang, bar noten jaranane ( poro gemblak) di kengken klono nyerang barok klenteng nogo niu mau ( langsung mawon di gawa sisan nag doho), versi 3 yo kuwi: poro group reyog sing kalah pas adu kasekten , coro siji2ne ninggalno topeng singo barong supoyo ora ngabot2i gawan, dadi sing di gowo bangsane jaranane ( kepang sesek), topeng lan gamelane, merga ben topeng singo barone di pundut kaleh sing menag, supoyo ben ora di titeni karo group mau, poro group reyog sing kalah mau medal saking ponorogo , koyo: magetan, ngawen, medion, kediri, tulungagong, njugjo, wonogiri, bahno sampe suroboyo., la tulung tulisan niki di sampeaken menyan yayasan reyog ponorogo, yen jaranan niku sejatine sak gagarakane karo reyog ponorogo ( yen di jarno, tiang kediri bakalan klaim yen jaranan saking kediri) sejatine koyo sentherewe, ddor, pegon, gundul, iku namine jaranan kepang gemblakane warok sing di wenehi pangkat karo klono ssing jenege jathilan ( jawa: pasukan berkuda serba guno)
saking http://www.anasarrosyidh.blogspot.com

dian mengatakan...

nice article....
izin share