Oleh : Alim Nor Faizin
Dalam dunia usaha, mempunyai ijin usaha merupakan suatu hal yang esensial dalam pengembangan usaha, karena pada dasarnya perijinan diberikan dalam rangka memberikan perlindungan secara hukum kepada para pelaku usaha. Selain itu, dengan mempunyai ijin pelaku usaha memperoleh kepercayaan dari publik maupun sektor perbankan apabila ingin mengajukan kredit usaha.
Membincang masalah pengurusan ijin di Indonesia, kita dihadapkan pada tiga masalah utama perijinan, Pertama, terlalu banyak ``pintu`` yang harus dilewati, hal ini berkaitan dengan struktur birokrasi perijinan kita yang terlalu gemuk dan melibatkan banyak instansi. Kedua, waktu yang diperlukan dalam mengurus ijin selain lama juga berbelit-belit, hal ini sebagai kelanjutan dari struktur yang gemuk tadi, sehingga seringkali persyaratan dan prosedur yang ada justru tumpang tindih. Ketiga, seorang pemohon ijin dihadapkan pada biaya yang mahal, hal ini sebagai akibat tidak adanya informasi dan ketentuan yang transparan tentang pengurusan perijinan. Padahal seorang pemohon ijin memerlukan adanya kepastian biaya, berapa lama waktu yang diperlukan dalam mengurus ijin dan adanya jaminan kepastian usaha. Beberapa studi tentang hambatan perijinan yang dilakukan di Indonesia menyebutkan bahwa biaya untuk mengurus ijin usaha bisa mencapai 3% - 10% dari modal usaha (Andadari, 1997), membutuhkan waktu 168 hari dengan biaya 103 USD (Bank Dunia, 2004) dan pungutan liar mencapai lebih dari 300% (Rustiani, TAF, 2000).
Dengan mengacu pada beberapa hasil studi diatas, menjadi sebuah kewajaran apabila iklim usaha di Indonesia banyak didominasi oleh usaha sektor informal. Data BPS menyebutkan prosentase jumlah industri kecil informal mencapai 80, 2% sedangkan industri kecil formal hanya 19,8% (BPS, 2000). Padahal industri kecil informal lebih banyak menghadapi kendala dilapangan karena tidak adanya perlindungan dimata hukum. Beberapa masalah yang seringkali dihadapi industri kecil informal diantaranya, Pertama, keterbatasan akses terhadap berbagai sumber daya, Kedua, rentan terhadap kekerasan, kejahatan karena tidak adanya perlindungan hukum, Ketiga, menghadapi ketergantungan struktural sebagai akibat tidak mempunyai ijin. Akibat lebih lanjut adalah masyarakat tidak mampu keluar dari garis kemiskinan karena tidak mampu mengembangkan usaha dikarenakan proses pengurusan ijin yang lama dan mahal.
****000****
Salah satu upaya untuk mendorong proses pelayanan perijinan yang efektif dan efisien serta mengurangi proses pengurusan ijin yang berbelit-belit tersebut adalah dengan membuat terobosan kebijakan yang menempatkan birokrasi pengurusan perijinan dalam satu wadah. Dengan demikian pemohon ijin hanya akan berurusan dengan satu instansi saja, One Stop Service (OSS). Secara umum dikenal tiga model pelayanan perijinan satu atap, Pertama, instansi teknis yang mengurusi ijin terkait menempatkan orang-orangnya dalam OSS. Pemohon tinggal menyerahkan berkas permohonan ijin kepada petugas di unit OSS tersebut, kemudian perwakilan dari instansi teknis inilah yang kemudian meneruskan ke instansi teknisnya masing-masing. Kedua, model OSS yang merekrut petugas dari instansi teknis terkait yang sebelumnya mengurusi ijin menjadi tenaga teknis di unit OSS, akan tetapi dalam pelaksanaan penerbitan ijin, instansi OSS tetap berkoordinasi dengan instansi teknis terkait. Ketiga, model OSS yang memberikan pelayanan perijinan secara mandiri, dalam artian dalam menerbitkan ijin, model OSS ini sudah tidak tergantung dengan instansi teknis.
Pola pengembangan pelayanan terpadu model OSS ini perlu kita dorong karena selain berpengaruh terhadap iklim usaha dengan meningkatnya jumlah pelaku usaha yang memiliki ijin, yang berarti adanya perluasan pada berbagai sumber akses sehingga meningkatkan PAD, juga berpengaruh positif terhadap pemerintah daerah yang melaksanakan model pelayanan satu atap (OSS), Pertama, akan mengurangi beban administratif Pemda, karena tumpang tindihnya prosedur pengurusan ijin yang ada selama ini. Kedua, meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti yang telah disinggung dimuka bahwa dengan meningkatnya pelaku usaha yang memiliki ijin, maka dengan sendirinya PAD akan meningkat. Ketiga, memperbaiki citra pemerintah daerah dan meningkatnya partisipasi publik. Dengan memberikan kemudahan dalam hal pengurusan ijin, secara tidak langsung kepercayaan publik pelaku usaha terhadap pengambil kebijakan akan semakin meningkat.
Melihat potensi iklim usaha di Indonesia yang menjanjikan, maka tidak berlebihan apabila pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang tegas tentang keharusan bagi pemerintah daerah untuk membentuk unit layanan publik satu atap di bidang perijinan. Karena dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih ketinggalan jauh dalam hal kemudahan pengurusan ijin. Dibandingkan dengan negara-negara lain didunia, sebut saja Denmark dan USA yang hanya memerlukan waktu 4 hari, United Kingdom 18 hari dan China 46 hari, Indonesia masih memerlukan 168 hari kerja dalam hal lamanya waktu pemberian ijin. Indonesia hanya menang dari Haiti yang memerlukan waktu 203 hari (Bank Dunia, 2004).
Meskipun Pemerintah Pusat melalui Permendagri No. 24 Tahun 2006 menginstruksikan agar pemerintah daerah membentuk system pelayanan publik (minimal setingkat bentuk kantor), akan tetapi Permendagri ini hanya bersifat anjuran dan tidak mengikat secara tegas. Akibatnya pengurusan ijin di Indonesia masih tetap memerlukan waktu lama dan berbelit-belit.
Wa ba`du, dengan terwujudnya model perijinan satu atap (OSS) di Indonesia, satu langkah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif sudah dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia. Minimal pemerintah sudah memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha untuk masuk dan mengembangkan usaha di Indonesia. Karena keberhasilan program peningkatan layanan perijinan satu atap ini didaerah sangat ditentukan oleh setidaknya tiga faktor, komitmen Kepala Daerah, kreativitas kelompok middle management Pemda, dan tingkat resistensi dari Dinas yang selama ini memegang otoritas pemberian ijin। Akan tetapi ketika sudah ada aturan dari Pemerintah Pusat yang mengatur tentang pengurusan ijin satu atap ini secara tegas, rasanya tidak ada alasan bagi pengambil kebijakan didaerah untuk tidak membentuk unit OSS. Kedepan, apakah layanan perijinan satu atap di Indonesia bisa segera terwujud, kita tunggu saja komitmen dari para pengambil kebijakan di Indonesia. Semoga...
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ponorogo Pos
1 komentar:
simobudiutomo@ymail.com
Salam Budaya.
Kami bangga bisa sedikit membantu kabupaten ponorogo untuk melestarikan kesenian khas kota kita.harapan kami semoga ada simo budi utomo ( group di tingkat pendidikan) yang peduli akan kesenian kita.
Sukseskan Festival Reyog Nasional XV 08
Salam Budaya.
Posting Komentar