pesantren DAN POLITIK DI PONOROGO (ANALISIS PSIKO-HISTORIS)
Oleh : Murdianto An-Nawie
Kata kunci : Kultur Politik, Pesantren, Figur Batoro Katong.
Hantaran
Raden Katong, yang kemudian lazim di sebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri- meyakini Batoro Katong lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong alias Lembu Kanigoro bersama para pengikutnya antara lain Ki Selo Aji, Kiai Muslim (Ki Ageng Mirah) adalah pengemban misi suci melakukan ‘Islamisasi’ sekaligus ‘menundukkan’ tanah Wengker, sebuah daerah tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis.[1] Yang kemudian kita kenal dengan nama Ponorogo.
Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact[2]budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai ‘totems’, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.
Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari ‘alam bawah sadar’ masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam ‘hiperealitas’, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.[3]
Sebagaimana yang telah di sebutkan di depan, bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ‘ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo. Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.[4]
Dalam konteks inilah penting, mencoba mencari kaitan antara ambisi-ambisi, cita-cita atau bahkan impian Batoro Katong sebagai Peng-Islam dan penguasa Politik Ponorogo dengan kultur politik yang muncul dikalangan pesantren yang tidak lain adalah para keturunan dan penerus ‘perjuangan’ Batoro Katong.
Batoro Katong dalam tradisi lesan
Sejarah lesan, yang berkembang dari mulut ke mulut satu generasi selanjutnya menjadi penting posisinya, terutama dalam kaitan analisis psiko historis. Karena dari sejarah lesan, yang berkembang inilah muncul imajinasi, struktur keyakinan dan nilai masyarakat. Terlepas, dari apakah sejarah lesan tidak merupakan hasil obyektif dari penelitian sejarah? atau sering bercampur dengan berbagai mitologi? Sejarah yang berkembang lewat tradisi lesan, bahkan menjadi semacam belief sebagaimana telah di sebutkan di atas. Dibawah ini akan, mencoba di deskripsikan beberapa hasil investigasi, penelitian dokumen yang kesemuanya tidak lain adalah pernyataan lesan beberapa tokoh dan sesepuh dimasing-masing komunitas di Ponorogo.[5]
Sebagaimana telah di ulas di awal tulisan ini bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fattah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru dibawah bimbingan Wali Songo di Demak. Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di Islamkan oleh wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putrid Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Tokoh yang terakhir ini, kemudian ‘desersi’ untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu. Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini namakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.[6]
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri di simbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk. [7]
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya di anggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus ‘kejayaan’ Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan ‘investigasi’ terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni yang kemudian di kenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.[8]
Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di ‘iming-imingi’ akan di jadikan istri.
Kemudian Niken Gandini inilah yang ‘dimanfaatkan’ Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang[9], pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini di sebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini di mungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah ‘dihilangkannya’ Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota.[10] dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti. Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.[11]
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang menjadi figur yang di idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan ‘genealogi’ kultur politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo, setidaknya dapat dimulai dari titik ini.
Dan terdapat dua konklusi penting yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama, upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua, mereka yang memiliki kultur berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan dengan nilai agama, berarti juga adalah musuh secara politis yang harus ‘di kuasai’ dan kemudian ‘di beradabkan’. Ketiga, untuk melakukan proses memberadabkan masyarakat melalui agama, dan melakukan proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif yang ada dalam masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).
(Kepala Divisi Penerbitan P3M INSURI PONOROGO,
Peneliti IRCaS (Institute for Religion and Cultural Studies)
3 komentar:
dmana makam dari batara katong itu sendiri ?
izin copas ya? terima kasih..
bagus pak
Posting Komentar